Pada akhir abad ke-20, konsep "Washington Consensus" muncul sebagai pedoman utama dalam kebijakan ekonomi global, terutama di negara-negara berkembang. Dikenalkan oleh ekonom seperti John Williamson pada tahun 1989, Washington Consensus menekankan pada serangkaian reformasi ekonomi yang diharapkan dapat membawa stabilitas dan pertumbuhan. Di antaranya adalah privatisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi pasar, dan pengendalian inflasi. Ide utamanya adalah bahwa kebijakan-kebijakan pasar bebas dan efisiensi ekonomi akan membawa kesejahteraan, stabilitas, dan pembangunan ekonomi jangka panjang bagi negara-negara yang mengadopsinya. Mimpi44 besar dari konsep ini adalah menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan terbuka di seluruh dunia, termasuk di negara-negara berkembang.
Namun, seiring berjalannya waktu, realitas yang dihadapi oleh banyak negara yang mengimplementasikan Washington Consensus jauh dari harapan. Meski awalnya terlihat memberikan hasil yang menjanjikan, banyak negara yang justru mengalami krisis ekonomi yang mendalam setelah mengikuti kebijakan-kebijakan tersebut. Argentina, misalnya, yang mengikuti Washington Consensus pada akhir 1990-an, mengalami salah satu krisis ekonomi terbesar dalam sejarahnya pada 2001. Krisis utang, pengangguran yang meluas, dan ketidakstabilan sosial yang terjadi setelah penerapan kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pasar bebas dan deregulasi tidak selalu menghasilkan stabilitas yang dijanjikan. Sebaliknya, mereka sering kali memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada.
Salah satu kritik terbesar terhadap Washington Consensus adalah bahwa kebijakan-kebijakan tersebut lebih menguntungkan negara-negara maju dan perusahaan besar, sementara negara-negara berkembang justru semakin terpuruk. Negara-negara seperti Indonesia, Meksiko, dan Rusia juga mengalami dampak negatif dari reformasi yang berfokus pada pembukaan pasar dan privatisasi sektor-sektor vital. Kebijakan pemotongan anggaran pemerintah untuk menurunkan defisit anggaran sering kali mengorbankan sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hasilnya, meskipun ada beberapa peningkatan dalam indikator-indikator ekonomi makro, ketimpangan sosial semakin melebar dan banyak lapisan masyarakat yang terpinggirkan. Ketidakadilan sosial ini menambah beban krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Namun, meski kritik terhadap Washington Consensus banyak bermunculan, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa negara berhasil mengadopsi sebagian elemen kebijakan ini dan meraih keberhasilan. Beberapa negara Asia, seperti Korea Selatan dan Taiwan, telah mengimplementasikan kebijakan pasar terbuka dan deregulasi yang pada akhirnya membawa mereka menuju pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tetapi keberhasilan ini tidak datang begitu saja dan harus disertai dengan kebijakan domestik yang tepat serta perhatian terhadap pembangunan manusia dan institusi yang kuat. Dengan kata lain, Washington Consensus seharusnya tidak diterapkan secara kaku atau tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan ekonomi masing-masing negara.
Pada akhirnya, Washington Consensus menggambarkan impian akan stabilitas ekonomi global melalui kebijakan pasar bebas, namun dalam realitasnya, ia sering kali menemui jalan buntu. Krisis ekonomi yang melanda banyak negara menunjukkan bahwa kestabilan ekonomi tidak hanya bergantung pada liberalisasi pasar, tetapi juga pada pemerintahan yang inklusif dan kebijakan ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan rakyat. Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bagi negara-negara berkembang untuk mencari pendekatan yang lebih holistik dalam merumuskan kebijakan ekonomi—sebuah keseimbangan antara pasar terbuka dan perlindungan terhadap sektor-sektor yang vital bagi pembangunan jangka panjang.